Sahabat yang Paling Tahu Mana yang Halal dan Mana yang Haram
Mu’adz
adalah seorang tokoh dari kalangan Anshar yang ikut berbaiat pada Bai’at Aqabah
II, hingga termasuk As-Sabiqun Al-Awwalun
(golongan yang pertama masuk islam). Kelebihannya yang paling menonjol dan
keistimewaannya yang utama ialah kepahaman atau keahliannya dalam soal hukum.
Keahliannya dalam fikih dan ilmu pengetahuan ini mencapai taraf yang
menyebabkannya berhak menerima pujian dari Rasulullah SAW dengan sabdanya
“Umatku yang paling tahu persoalan yang halal dan haram ialah Mu’adz bin Jabal.
Kecerdasan
otak dan keberanian mengemukakan pendapat, Mu’adz hampir sama dengan Umar bin
Al-Khattab. Kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan
kecerdasan inilah kemungkinan yang mengantarkan Mu’adz berhasil mencapai
kekayaan dalam ilmu fikih, dan mampu mengatasi
persoalan saudara-saudaranya.
Mu’adz bin Jabal berotak
cemerlang dan menjadi penyuluh serta dapat memutuskan persoalan dengan
sebaik-baiknya. Ia sangat tampan, hitam manis warna kulitnya, bersih, manis
tutur katanya dan termuda usianya diantara para sahabat-sahabat nabi yang
lainnya. Jika pada mereka terdapat keraguan tentang suatu hadits, mereka
menanyakannya kepada anak muda itu dan ia pun segera memberikan fatwanya.
Shahar bin
Hausyab memberikan ulasan, ia menceritkan, “Bila para sahabat berbicara dan
diantara mereka hadir Mu’adz bin Jabal, mereka pasti meminta pendapatnya karena
kewibawaannya. Mu’adz memang memiliki otak yang terlatih dengan baik dan logika
yang menawan serta memuaskan lawan, yang mengalir dengan tenang dan cermat.
Mu’adz adalah seorang pendiam. Ia tidak akan berbicara kecuali atas permintaan
hadirin.
Mu’adz adalah seorang yang suka
memberi, kaya hati, dan tinggi budi. Mu’adz pernah tinggal di Syria, dan
tinggal bersama penduduk setempat dan musafir yang berkunjung kesana, sebagai
guru dan ahli hukum. Tatkala Abu Ubaidah – Amir disana sekaligus sahabat karib
Mu’adz – meninggal dunia, ia diangkat oleh Amirul Mukinin Umar sebagai
penggantinya di Syria. Tetapi, baru beberapa bulan saja ia memegang jabatan
itu, ia dipanggil Allah untuk menghadap-Nya dalam keadaan tunduk dan
menyerahkan diri.
Pada suatu
pagi, Rasulullah SAW bertemu dengan Mu’adz, dan bertanya kepadanya, “Bagaimana
keadaanmu pagi hari ini, wahai Mu’adz?” Mu’adz berkata “Aku menghadapi pagi ini
sebagai orang beriman, wahai Rasulullah.” Rasulullah SAW kembali menjawab
“Setiap kebenaran ada hakikatnya, lantas apakah hakikat keimananmu?” Mu’adz
menjawab :
“Setiap berada di pagi hari, aku
menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Setiap berada di waktu sore, aku
menyangka tidak akan mencapai waktu pagi lagi. Tiada satu langkah pun yang
kulangkahkan, kecuali aku menyangka tiada akan diiringi lagi dengan langkah
lainnya. Seolah-olah kesaksian setiap umat jatuh berlutut, dipanggil melihat
buku catatannya. Dan aku seolah-olah menyaksikan penduduk surga menikmati
kesenangan surga, sedangkan penduduk neraka menderita siksa didalamnya”
Gambaran
yang diberikan Ibnu Mas’ud tentang kepribadiannya, “Mu’adz adalah seorang hamba
yang tunduk kepada Allah dan berpegang teguh kepada agama-Nya. Kami menganggap
Mu’adz serupa dengan Nabi Ibrahim AS. Mu’adz senantiasa menyeru manusia untuk
mencapai ilmu dan berdzikir kepada Allah. Dia pun menghimbau mereka agar
mencari ilmu yang benar lagi bermanfaat, ia berkata, ‘Waspadalah terhadap
ketergelinciran orang yang berilmu! Kenalilah kebenaran itu dengan kebenaran
pula, karena kebenaran itu mempunyai cahaya’.” Dan akhirnya Mu’adz bin Jabal
meninggal dunia pada masa pemerintahan Umar, sedangkan usianya belum genap 33
tahun.
0 komentar: