Ia adalah seorang sahabat Rasulullah SAW yang utama, Ia adalah salah seorang yang bertakwa dan tidak menonjolkan diri. Ia tidak pernah absen dalam semua perjuangan dan jihad yang dihadapi Rasulullah SAW.
Sa’id
menganut islam tidak lama sebelum pembebasa Khabair. Sejak ia memeluk Islam dan
berbaiat kepada Rasulullah SAW, seluruh kehidupannya, eksistensi, dan nasibnya
dibaiatkan untuk kepentingan Islam dan Rasulullah SAW. Ketaatan, kezuhudan,
kesalehan, keluhuran, ketinggian, serta segala sifat dan tabiat utama, sangat
lekat pada diri manusia suci dan baik ini.
Kebesaran
tokoh ini lebih banyak yang tersembunyi dan berada di dalam daripada yang
terlihat di permukaan luar yang kemilau. Ketika Amirul Mukminin Umar bin
Al-Khattab memberhentikan Mu’awiyah dari jabatannya sebagai kepala daerah di
Syria, ia menoleh kiri dan kanan mencari seorang yang akan menjadi
penggantinnya. Syarat-syarat yang diberlakukan olehnya untuk menilai orang dan
memilih para pejabat pemerintahan sangat berat dan ketat, serta didasarkan atas
pertimbangan tajam dan sempurna, lebih dalam daripada ketajaman mata telanjang
dan penampilan luar
Syria
ketika itu merupakan wilayah yang modern dan besar, sementara kehidupan disana
sebelum datangnya Islam mengikuti peradaban yang silih berganti, di samping
merupakan pusat perdagangan yang penting dan tempat yang cocok untuk
bersenang-senang. Beberapa poin inilah yang menjadikan Syria sebagai negeri
yang penuh godaan dan rangsangan. Menurut pendapat Umar, tidak ada yang cocok
untuk negeri itu kecuali seorang suci yang tidak dapat diperdayakan oleh setan
manapun, seorang ahli zuhud yang gemar beribadah, yang tunduk dan patuh kepada
Allah.
Dalam
sekejap Sa’id dapat diyakinkan. Akhirnya Sa’id berangkat ke Homs disertai oleh
istrinya yang waktu itu masih pengantin baru. Istrinya sejak belia memang
terlihat sebagai seorang wanita yang sangat cantik berseri-seri. Umar membekali
mereka dengan bekal yang cukup. Ketika kedudukan mereka di Homs telah mapa, sang
istri bermaksud menggunakan haknya sebagai istri untuk memanfaatkan harta yang
telah diberikan Umar sebagai bekal mereka. Ia mengusulkan kepada suaminya untuk
membeli pakaian yang layak dan perlengkapan rumah tangga, lalu menyimpan
sisanya.
Namun,
Sa’id menjawab, “Maukah kamu aku tunjukkan yang lebih baik daripada rencanamu
itu? Kita berada disuatu negeri yang sangat pesat perdagangannya dan laris
barang jualannya. Lebih baik kita serahkan harta ini kepada seseorang yang akan
mengambilnya sebagai modal dan akan mengembangkannya”
“Bagaimana jika
perdagangannya rugi?” tanya istrinya.
“Aku akan
menetapkan jamaah atas dirinya”
“Baiklah kalau
begitu.”
Kemudian
Sa’id pergi ke luar, lalu membali beberapa keperluan hidup dari jenis yang
sangat bersahaja, dan sisanya –yang tentu saja masih banyak- dibagi-bagikannya
kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan.
Hari-hari
pun berlalu, dari waktu ke waktu istri Sa’id selalu menanyakan kepada suaminya
soal perdagangan mereka dan kapan keuntungannya hendak dibagikan. Akhirnya,
sang suami menuturkan kepadanya bahwa harta itu telah disedekahkannya sejak
awal. Wanita itu pun menangis. Ia menyesal karena harta itu lenyap tanpa arti
dan tidak jadi dibelikan keperluan hidup dirinya, dan sekarang tidak sedikitpun
yang tersisa.
“Bukankah kamu
tahu bahwa di dalam surga itu banyak terdapat gadis-gadis cantik yang bermata
jeli, hingga ada seorang saja di antara mereka menampakkan wajahnya di muka
bumi seluruhnya akan terang benderang, dan tentulah cahayanya akan mengalahkan
sinar matahari dan bulan? Maka mengorbankan dirimu demi untuk mendapatkan
mereka tentu lebih wajar dan lebih utama daripada mengorbankan mereka karena
dirimu.” Akhirnya ia berupaya mencontoh sifat zuhud dan ketakwaan suaminya.
Suatu
ketika Amirul Mukminin Umar berkunjung ke Homsdan bertanya kepada penduduk yang
sedang berkumpul tentang Sa’id, maka penduduk berkata, “kami mengeluhkan empat
perkara dari dirinya:
1. Ia tidak
keluar untuk menemui kami hingga menjelang siang hari.
2. Ia tidak mau
melayani orang pada waktu malam hari.
3. Setiap bulan
ada dua hari dimana ia tidak mau keluar untuk kami, sehingga kami tidak dapat
menemuinya.
4. Ada satu lagi
yang sebetulnya bukan merupakan kesalahannya, tapi mengganggu kami, yaitu bahwa
sewaktu-waktu ia jatuh pingsan.
Umar
tertegun sebentar dan memohon kepada Allah, dengan uangkapan, “Ya Allah, hamba
tahu bahwa ia adalah hamba-Mu yang terbaik. Karena itu, hamba berharap firasat
hamba terhadap dirinya tidak meleset.”
Said
pun dipersilakan untuk membela dirinya. Ia pun berkata, “Mengenai tuduhan
mereka bahwa saya tidak keluar hingga menjelang siang, demi Allah, sebetulnya
saya tidak hendak menyebutkannya. Keluarga kami tidak punya pelayan, sehingga
sayalah yang membuat adonan tepung dan membiarkannya sampai mengembang, lalu
saya membuat roti dan kemudian wudhu untuk sholat Dhuha. Setelah itu, saya
keluar menemui mereka.”
Said
pun melanjutkan pembicaraannya, “Adapun tuduhan mereka bahwa saya tidak mau
melayani mereka pada waktu malam, demi Allah saya sebenarnya tidak suka
menyebutkan sebabnya. Saya telah menyediakan siang hari bagi mereka, sedangkan
malam hari bagi Allah Ta’ala. Keluahan mereka bahwa dua hari setiap bulan saya
tidak menemui mereka, itu karena saya tidak punya pelayan yang akan mencuci
pakaian, sedangkan saya tidak punya baju yang lain. Jadi, saya memanfaatkan
hari itu untuk mencucinya dan menunggu sampai kering, dan di akhir siang saya
bisa menemui mereka.”
“Kemudian
tentang keluhan mereka bahwa saya sewaktu-waktu jatuh pingsan, itu karena
ketika di Mekkah dulu saya telah menyaksikan Khubaib Al-Anshari jatuh
tersungkut. Tubuhnya di sayat-sayat oleh orang-orang Quraisy dan mereka
menyeret tubuhnya sambil menanyakan kepadanya, ‘Maukah tempatmu ini diisi oleh
Muhammad sebagai gantimu, sedangkan kamu berada dalam keadaan sehat wal afiat?’
Khubaib
menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak ingin tinggal dalam keselamatan dan kesenangan
dunia bersama anak dan istriku, sementara Rasulullah SAW ditimpa bencana, walau
oleh hanya tusukan duri sekalipun.’ Setiap terkenang peristiwa yang aku
saksikan itu, dan ketika itu aku masih dalam keadaan musyrik, lalu teringat
bahwa aku berpangku tangan dan tidak mengulurkan tangan untuk menolong Khubaib,
tubuhku gemetar karena takur siksa Allah, hingga ditimpa penyakit yang mereka
katakan itu.”
Sampai
disitu berakhirlah kata-kata Sa’id, membiarkan kedua bibirnya basah oleh air
mata yang suci, mengalir dari jiwanya yang saleh. Mendengar itu Umar tidak
mampu menahan rasa harunya, sehingga ia pun berseru karena sangat gembira,
“Alhamdulillah, dengan taufik-Nya firasatku tidak meleset.” Ia lalu merangkul
dan memeluk Sa’id, serta mencium keningnya yang mulia dan bersinar cahaya.
Uang
tunjangan dan gaji yang diperolehnya sangat besar, sesuai dengan kerja dan
jabatannya, tetapi ia hanya mengambil untuk keperluan diri dan istrinya,
sedangkan selebihnya dibagi-bagikan kepada keluarga-keluarga lain yang membutuhkannya.
Suatu saat, seseorang menasehatinya, “Manfaatkanlah kelebihan harta ini untuk
melapangkan keluargamu sendiri dan famili mertuamu.” Ia pun menjawab, “Mengapa
keluargaku dan famili mertuaku saja yang harus kuperhatikan? Demi Allah, tidak!
Aku tidak akan menjual keridhaan Allah dengan kaum kerabatku.”
Pada
tahun 20 H Sa’id bin Amir pualng ke rahmat Allah dengan lembaran yang paling
beesih, hati yang paling suci dan kehidupan yang paling cemerlang. Telah lama
sekali rindunya terpendam untuk menyusul rombongan perintis. Hidupnya memang
telah didedikasikan untuk memelihara janji dan mengikuti langkah mereka.
Sungguh, rindunya tiada terkira untuk dapat menjumpai Rasulullah SAW yang
menjadi gurunya, serta teman-temannya yang saleh dan suci.
Sekarang, ia
akan menemui mereka dengan hati yang tenang, jiwa yang tenteram dan beban yang
ringan. Ia tidak membawa atau meninggalkan beban dunia atau harta benda yang
akan memberati punggung atau menekan bahunya. Tidak ada yang dibwanya kecuali
kezuhudan, kesalehan, dan ketakwaan, serta kebenaran jiwa dan budi baiknya.
Semua itu adalah keutamaan yang akan memberatkan timbangan, dan sekali-kali
tidak akan memberatkan punggung. Keistimewaan tersebut dipergunakan oleh
pemiliknya untuk menempatkan dunia di posisi yang rendah, sehingga tidak
tergoyahkan oleh tipu daya dunia.
0 komentar: